Gunung Bukit Raya

Share:


Weewww!!! Nyampe juga nganter si bocil ke gunung seven summitnya yang ke-4.

Gunungnya pendek aja, cuma dua rebuan meter tapi lumayan bikin frustasi. Ketinggian segitu kudu dijalani selama 7 hari 7 malam, belum termasuk dengan perjalanan pp Palangka-Habangoi.

Ini pertama kalinya emak ngerasa nyerah dan sempat ogah meneruskan perjalanan. Selain emang karena kurang persiapan, kurang fit, juga karena hawanya yg gerah dan banyak banget pacet.

FYI, yg di foto itu cuma beberapa pacet doang ya. Aslinyaaaa.... puluhan, men! Malah kayaknya mah uncountable. Wakakakakkk....

Oke, kembali ke cerita perjalanan. Setelah banyak drama ina-inu yang serba mendadak dan mengubah jadwal perjalanan, kami bisa mulai perjalanan dari desa Habangoi menuju Pintu Rimba di hari Senin, 19 Nopember 2018.

Kami sewa 3 perahu kelotok supaya yakin sampai di Pintu Rimba di hari itu juga. Perjalanan melawan jeram di sungai Samba yang jernih kami lewati selama kurang lebih 8 jam. Saat beristirahat, si bocil mandi-mandi, puas main air. Ikan-ikan kecil keliatan berenang di antara batu-batu sungai.

Tepat jam 18.00, kami sampai di Pintu Rimba dan nge-camp. Sejak di Pintu Rimba sudah diwanti-wanti sama pak Boman, pisor (guide) kami, supaya besok siap2 bertemu dengan pacet.

Besoknya, kami mulai trekking pukul 09.00. Treknya naik turun, beberapa kali menyebrangi anak2 sungai. Kaki dan sepatu basah sudah nggak perlu ditanya lagi.

Kami sampai di pos Dahie pukul 12.00 langsung makan siang sejenak dan dilanjutkan upacara adat. Pukul 14.00 kami lanjut lagi hingga pukul 19.00. Kami belum bisa mencapai pos Tosah karena sudah kemalaman. Oya, di sana, pukul 5 sore itu sudah gelap, sudah maghrib.

Esoknya, Rabu, kami mulai trekking pukul 08.00. Sampai di pos Tosah pukul 09.30 dan diteruskan hingga pos Soa Tohotung. Kami sampai di Soa Tohotung pukul 12.00 lalu istirahat sebentar.

Pukul 14.00 kami lanjut trekking menuju pos Bitah Samba. Kontur perjalanan dari Soa Tohotung ke Bitah Samba ternyata terus menanjak dengan kemiringan cukup lumayan. Kami kemalaman lagi dan kali ini sekaligus kehujanan, dan tentunya, kelaparan. Pas hujan mulai turun, si bocil nangis kelelahan.

Akhirnya pukul 20.00 kami memutuskan untuk nge-camp di lokasi sebelum pos Bitah Samba (kurang lebih berjarak 15 menit). Tepatnya kami nge-camp di jalur. Gpp lah, toh gunungnya sepi, nggak ada yang hiking kecuali kami. Hehe.

Malam itu kami istirahat. Melihat kondisi bocil, kami putuskan utk menunda summit. Kami gunakan waktu seharian di hari Kamis untuk beristirahat total di camp.

Jumat, kami summit mulai pukul 04.30. Kontur yang naik turun jalur hutan lumut membuat kaki emak yang kurang terlatih ini bener2 letoy. Belum lagi ketika harus memanjat tebing atau tanjakan yang hampir vertikal, atau harus melewati batang2 pohon yang melintang. Emak sempat give-up, pengen berenti aja dan nunggu bocil balik lagi dari summit. Bener2 melelahkan.

Tapi di sini sudah lumayan nyaman jalurnya karena pacet sudah nggak ada. Mungkin pacet2nya kedinginan.

Dan akhirnya, sekitar pukul 11.00 kami berhasil berjumpa dengan Puncak Kakam. Suara bocil kedengeran sudah teriak2 memanggil kami. "Buuunnn!!! Puncak, Buunn!!! Cepetaaann...!!!!"

Tapi karena nafas sudah ngos2an, emak berjalan santai. Mau tinggal beberapa meter juga rasanya jauh benerrrr.... Untung om Birru Sigit selalu setia memberi motivasi. "Ayo semangat, puncak di atas!" :-P

Kami selebrasi sejenak, mengisi perut yg keroncongan, menghangatkan badan, foto2, dan nggak lupa, meletakkan barang titipan di Petaho untuk bang Fendi Wijaya dari mbak Honey Habibah dan om Siddiq. Sungguh luar biasa perjalanan barang titipan itu. Kalau dirupiahkan sepertinya tidak akan terbayar mengingat sekian banyak keringat dan darah yang telah dikucurkan. Eeeaaa.....

Siang itu kami say goodbye dengan Puncak Kakam di pukul 13.30, lalu nge-camp lagi semalam. Esoknya, kami mulai perjalanan trekking turun pukul 08.00. Awalnya hanya ingin sampai Dahie, tetapi kalau dipikir2, nanggung banget. Tinggal dua jam lagi sudah sampai di Pintu Rimba.

Lagi, dengan tetesan air mata si bocil karena udh luar biasa lelahnya, tak lupa juga di tengah rintik hujan gerimis, gelapnya malam, dinginnya air sungai, ia pun menyeret langkahnya menuju Pintu Rimba. Malam itu kami sampai di pos Pintu Rimba pukul 21.30. Si bocil merayakannya dengan menangis sejadi-jadinya. Antara capek, kaki sakit dan perih karena terkelupas, kesal, pegal, senang, dan terharu. Semua perasaan campur aduk jadi satu.

Kalau si bocil ditanya, mau balik lagi nggak? Jawabannya: Nggak!!! Hahahahaa....

Bukit Raya, terima kasih atas kenangan yang telah kau berikan. Semoga kau senantiasa terjaga dari rakusnya tangan-tangan manusia. Kelak nanti anak-cucu si bocil masih bisa mencicipi indahnya hutan rimba dan jernihnya air sungai yang mengalir di lembahmu.

Habangoi, 25 Nopember 2018.

----
----

Perjalanan ini bisa dibilang "blessing in disguise". Awalnya kami mau berangkat di bulan September 2018 via Rantau Malam. Tetapi karena si bocil berkali2 sakit dan ada kerjaan yang nggak bisa ditinggalkan, kami undur ke bulan Nopember.

Dalam periode menunggu, berseliweran postingan foto dari akun instagram Tapak Borneo. Sungainya kok jernih.... Kok bisa nge-camp di samping sungai.... Kok ada bakar2 ikan. Enak bener. Jadilah kami banting setir dengan mencoba lewat jalur Habangoi.

Ternyata, memang nggak diragukan lagi. Jalur Habangoi memang mantap. Walaupun trek summitnya lebih lama drpd Rantau Malam (katanya, saya juga nggak tau pasti), tapi perjalanan menyusuri sungainya membawa pengalaman asik yang nggak akan terlupakan.

Kalau ada kawan2 yang mau tanya lebih detail tentang jalur Habangoi, please jangan sungkan utk japri ya. Jalurnya terlalu cantik utk dilewatkan, lho. Saya akan usahakan bantu semaksimal mungkin.

Sampai jumpa di petualangan bocil berikutnya

No comments