Gunung Kerinci

Share:


Sepanjang jalan naik atau turun gunung, si bocil sering mendapat acungan jempol dari pendaki lain. Yang mas2, mbak2, pakdhe2, budhe2, om dan tante bule, para porter, para guide, penjaga tiket simaksi, sampai para pemilik penginapan. Biasanya mereka terpana, bengong, trus kadang nanya. "Ini naik gunungnya jalan kaki apa digendong?" :-P

Sewaktu bertemu di jalan, kadang mereka minta pose bareng bocil utk kenang2an dan utk ditunjukin ke teman2 mereka yang lain. "Buat manas2in mereka mbak, masa kalah sih ama anak kecil?" gitu katanya.


Tapi setelah episode nanjak Kerinci kemarin, si emak dan om Birru Sigit menyadari satu hal. Sebetulnya yang keren itu nggak hanya anak kecil yang sanggup menaklukkan gunung, tapi juga mereka yang sudah berusia lawas (means above 50) namun tetap semangat menempuh sulitnya trek gunung. Itu pertanda mereka mampu merawat kesehatan sepanjang usia mereka hingga sampai detik ini -- dengkul-paha-otot betis-jantung-paru2-dan segala organ tubuhnya -- masih tak gentar menantang hujan-badai-tanah licin-akar pohon yang malang melintang di dalam hutan. Ituuuuhhhh...sesuatu banget.

Seperti kemarin, kami bertemu tante Ririn. Usianya sudah 50 tahun dan dia melakukan solo traveling ke Kerinci trus lanjut ke danau Gunung Tujuh. Kami bertemu beliau di shelter 3 bayangan, di trek yang bisa disebut D2 (dengkul ketemu dagu). Itu ukuran buat orang dewasa, ya. Buat ukuran bocil mah, D2 artinya Djempol kaki ketemu Djidat! Wakakakakakkk....

Oke, back to tante Ririn. Jadi si tante ini bawaannya periang, humoris, humble, easy going, dan seneng ama anak2. Gak heran, si bocil bisa langsung nempel..pel...pellll... Waktu kami sampai di shelter 3, kami malah bisa nitip si bocil di tendanya selagi kami benah2 barang (aji mumpung cuuyyy... :-P). Mereka ngobrol ngalor ngidul. Dari tenda kami yang sebelahan (kami sepakat utk camping deketan dan rencana summit bareng), si emak dan om Birru Sigit ketawa dengerin obrolan random mereka. Tipikal obrolan cucu dan nenek tapi heboh dan lucu gitu.

Turun dari summit, emak nanya ke si tante. Suaminya mana? Anak2? Temen2? Kok jalan sendirian aja? Dan mengalirlah cerita beliau yang intinya dia tuh mau gak mau jalan sendirian karena anak dan suaminya gak sehobi dan ogah naik gunung. Yhaaa.... Emang gak semua orang demen sih. Tapi dasar si tante easy going, dia memutuskan, "Ya udah deh, aku jalan sendiri ajah. Daripada malah berantem ngajakinnya, mereka juga pasti nggak mau. Capek lah."

Wow. Emak bersyukur banget karena punya bocil yang sehobi dan punya misua yang mau jadi porter gretongan #eh :-P

Emak nimpalin si tante. "Jangan2 klo si bocil ini gak mau ke gunung, saya bakal bernasib kayak tante. Kemana2 sendirian, hehehehe...."

Kami mulai perjalanan pulang dr shelter 3 pukul 16.00 WIB. Sepanjang jalan kami diguyur hujan lebat. Kami turun masih bareng tante Ririn karena beliau sudah janjian ama si bocil (halah). Air hujan yang ngalir kayak sungai deras membuat kami sulit berjalan. Kaki kami harus masuk ke dalam parit2 yang kalau kering jadi jalur jalan, tapi kalau hujan jadi jalur air.

Sepatu kami sudah berisi air dan lumpur. Baju basah--jas hujan udh nggak berfungsi. Dinginnya malam membuat kaki kami kepayahan ngelewatin trek dari shelter 3 yang jalurnya astaghfirullah ituh. Lelah pake bangeettttt sampai kami rindu berat sama shelter 1 yang rasanya gak nyampe2. Pukul 20.00 tepat kami sampai di shelter 1 dengan perasaan lega.

Di shelter 1, si bocil menggigil. Beberapa pendaki mengerubungi kami, ngasih kami sarung, kupluk, kaos kaki, minjemin baju hangat, ngasih kami air minum, nasi, makanan kecil, dsb...dsb.... Di situ, si bocil menyerah. Fisiknya memang sedang nggak fit. Dia memutuskan untuk nge-camp lagi dan melanjutkan perjalanan esok hari. Ya, betul juga. Karena kalau kami melanjutkan perjalanan, bisa2 pukul 02.00 kami baru sampai di homestay. Manalagi cuaca sangat nggak mendukung, hujan turun gak berenti.

Tapi trus tiba-tiba tante Ririn ngomong ke porternya. "Kita tetep jalan ya, Sal. Besok aku mau berangkat ke danau Gunung Tujuh."

Wih, sumpah... Kami salut pake buangeettt. Si tante malam itu memutuskan utk tetap terus jalan (berdua aja sama si porter) dan kabarnya nyampe di pintu Rimba pukul 01.00. Kami membayangkan, besoknya beliau pasti sudah duduk manis di atas sampan di tengah danau. Luar biasa.
Tak hanya tante Ririn yang bisa dibilang pendaki berumur yang kami temui di sepanjang perjalanan. Di trek Kerinci yang bisa dikatakan sulit itu, kami bertemu banyak pendaki lain yang kami duga seumuran dengan tante.

Sambil jalan, emak dan om birru sigit sharing apa yang kami lihat ke si bocil. Kami jelaskan kalau si bocil harus meniru semangat mereka.
"Kenapa, Bun?"
"Karena mereka bisa menjaga kesehatannya sepanjang umur mereka. Sewaktu mereka muda, pasti rajin olahraga. Mereka juga menjaga asupan makanan. Jadi badan mereka fit dan masih bisa trekking seperti kita sekarang."

Kami bertanya ke si bocil, seneng nggak kalau nanti ayah dan bundanya masih suka traveling kayak opa-oma yang dia lihat saat itu di Kerinci. Jawabnya, "Seneng doooonnnggg...."
Lalu kami bisikkan, "Kalau gitu, jangan lupa untuk selalu berdoa ya, sayang. Semoga kita selalu diberi kesehatan dan selalu dilindungi oleh Nya."




Kerinci, 12 Mei 2018.

Foto-foto ada disini

https://www.facebook.com/profile.php?id=553566949&sk=photos&collection_token=553566949%3A2305272732%3A69&set=a.10156366949611950&type=3&fb_dtsg_ag=AdyH7NsTgEQS_rKejP6O2VoJmRhP4g-1EMxkw1GdcuiQCQ%3AAdxBhh0tgYK6TkMHT7uZxXB0leJ2Hg18VhAHRYVntJUWtw

No comments